Jumat, 04 Juni 2010

Puisi - Puisi Sapardi Djoko Damono


Puisi-puisi Sapardi Djoko Damono

HUJAN BULAN JUNI

Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan juni
Dihapuskannya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
(1989)

AKU INGIN
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
(1989)

DALAM DIRIKU
Dalam diriku mengalir sungai panjang,
Darah namanya;
Dalam diriku menggenang telaga darah,
Sukma namanya;
Dalam diriku meriak gelombang sukma,
Hidup namanya!
Dan karena hidup itu indah,
Aku menangis sepuas-puasnya
(1980)

YANG FANA ADALAH WAKTU
Yang fana adalah waktu. Kita abadi :
Memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
Sampai pada suatu hari
Kita lupa untuk apa.
“Tapi,
Yang fana adalah waktu, bukan?”
Tanyamu. Kita abadi.
(1978)

Sonet, 1
: Andy, Pengamen
“Aku menyanyi untukmu,” katamu. Aku diam,
mendengarkan gerimis yang berderai lalu
bagai benang terurai dari langit yang dalam.
Adakah kausaksikan aku mendengarkanmu?
Aku diam, mendengar dan tidak mendengar
suaramu. “Biar aku menyanyi, hanya untukmu,”
katamu. Aku diam, mungkin gerimis bergetar
bagai tirai warna-warni, hanya untukku.
Apakah kau yakin aku bisa menyaksikan
mahasunyi yang meniti butir-butir gerimis,
apakah yang kauinginkan dariku yang bertahan
agar tak ada sebutir pun dari mata menitis?
“Aku menyanyi untukmu, selalu,” katamu.
Gila, kautusukkan juga senyap senar itu!

Sonet, 2
Aku tak lain sebutir telur
kubayangkan tergolek di sarang itu
ketika siang sudah luhur —
“Dan tak juga menetas,” katamu.
Aku tak lain seonggok sarang
kubayangkan terbaring di awan biru
ketika hari menjelang petang —
“Dan tak ada burung hinggap,” katamu.
Aku tak lain seekor burung
kubayangkan lepas dari ketinggian itu
ketika malam menjelma senandung —
“Menidurkanmu dalam telur,” katamu.
“Kau akan mendengar dendang hening
merawatmu, tak lekang mendenting.”

Sonet, 3
“Jangan lupa kirim pesan kalau kau tiba
dengan selamat di bandara,” katamu.
Kudengar getar dari kota nun di sana,
terpisah oleh jalan-jalan berdebu
dan langit yang bagai rasa cemas.
Kata melenting di dinding-dinding
kabin, tak berhak lepas
dari kaca jendela yang tak lagi bening.
Awan yang di bawah bergumpal melata
tampaknya tak siap lagi menjadi lambang
cinta kita, “Apakah ia akan tetap ada
sehabis hujan?” Pesawat mendadak goyang
ketika kubayangkan matamu mendesah,
“Jangan lupa, di sini ada yang gelisah.”

Sonet, 4
Hidup terasa benar-benar tak mau redup
ketika sudah kaudengar pesan:
suatu hari semua bunyi rapat tertutup.
“Penyanyi itu tuli,” katamu pelan.
Tapi bukankah masih ada langit
yang tak pernah tertutup pelupuknya,
yang menerima segala yang terbersit
bahkan dari mulut si tuli dan si buta?
“Penyanyi itu buta?” tanyamu gemetar;
kita pun diam-diam mendengarkannya,
Cinta terasa baru benar-benar membakar
ketika pesan kaudengar: padamkan nyalanya!
Kita pun menyanyi selepas-lepasnya,
sepasang kekasih yang tuli dan buta.


Sonet 5

Malam tak menegurmu, bergeser agak ke samping
ketika kau menuangkan air mendidih ke poci;
ada yang sudah entah sejak kapan tergantung di dinding
bergegas meluncur di pinggang gelas-waktu ini.
Dingin menggeser malam sedikit ke sudut ruangan;
kautahan getar tanganmu ketika menaruh tutup
poci itu, dan luput; ada yang ingin kaukibaskan.
Kenapa mesti kaukatakan aku tampak begitu gugup?
Udara bergoyang, pelahan saja, mengurai malam
yang melingkar, mengusir gerat-gerit dingin
yang tak hendak beku, berloncatan di lekuk-lekuk angka jam.
Malam tidak menegurku. Hanya bergeser. Sedikit angin.
Ada yang diam-diam ingin kauusap dari lenganmu
ketika terasa basah oleh tetes tik-tok itu.

Sonet 6
Sampai hari tidak berapi? Ya, sampai angin pagi
mengkristal lalu berhamburan dari sebatang pohon ranggas.
Sampai suara tak terdengar berdebum lagi?
Ya, tak begitu perlu lagi memejamkan mata, bergegas
memohon diselamatkan dari haru biru
yang meragi dalam sumsummu; tak pantas lagi
menggeser-geser sedikit demi sedikit bangkai waktu
agar tak menjadi bagian dari aroma waktu kini.
Sampai yang pernah bergerit di kasur
tak lagi menempel di langit-langit kepalaku?
Sampai kedua bola matamu kabur,
sayapmu lepas, dan kau melesat ke Ruh itu.
Ruh? Ya! Sampai kau sepenuhnya telanjang
dan tahu: api tubuhmu tinggal bayang-bayang.

Sonet 7
Ada jarak yang harus ditempuh sampai suasana
siap menerima kita. Dan kita arif menerimanya, bukan?
Ada yang harus tak habis-habisnya kita hela
dan hembuskan sampai pisau yang terpejam di tangan
membelah apel yang di atas meja. Seiris telentang, seiris
tengkurap di sebelahnya? Begitu ramal seorang empu
setelah menyelesaikan tugas menempa sebilah keris.
Celoteh juru nujum yang di bukit nun di sana itu?
Ada jarak yang harus diremas sampai kerut
dalam pembuluh darah kita. Sampai yang biru
kembali hijau berkat kuning itu, sampai segala terhalau:
yang ini, yang itu, yang di sana, yang di situ,
yang layang-layang, yang batu? Ada jarak yang harus ditebas
kalau kita mau menerima pertemuan ini dengan ikhlas.

Sonet 8
Di sudut itu selalu ada yang seperti menunggu
kita. Mengapa ada yang selalu terasa hadir di sana?
Di situ konon kita dulu dilahirkan, kau tahu,
agar bisa melihat betapa luas batas antara nyata
dan maya. Dua dinding bertemu di sudut itu,
seperti yang sudah dijanjikan sejak purba
ketika sehabis peristiwa itu leluhur kita diburu-buru
dan sesat di rumah ini. Kau masih juga percaya
rupanya, tanpa menyiasati dinding-dinding itu?
Rumah baru terasa rumah kalau ada penyekat
antara sini dan Sana, membentuk sudut tempat kita bertemu
dan memandang lepas ruang luas, tanpa akhirat.
Mengapa terasa harus ada yang menunggu?
Agar tak mungkin ada yang bisa membebaskanmu.

Sonet 9
Kaubalik-balik buku itu selembar demi selembar
sore ini. Bukankah waktu itu masih pagi,
ketika kau mencatatnya? Aku pungut buku yang kaulempar
ke lantai, telungkup, tampak lusuh, sendiri.
Kenapa mesti ada sore hari? Pejamkan mata, bayangkan
beranda yang pernah membiarkan kita mengitari
pekarangan yang begitu luas, yang kemudian ternyata bukan
bagian dari tempat yang konon disediakan untuk kita tinggali.
Matahari masih hangat ketika aku mencatatnya
di buku yang sore ini telah menggodamu untuk mencari
gambar sebuah taman yang memancarkan aroma
secangkir teh hangat di pagi hari. Ya, bukankah masih pagi
ketika kau menggambarnya? Ya, mungkin karena waktu itu
masih pagi. Lekas, berikan buku itu kembali, padaku!

Sonet 10
Ada selembar kertas yang belum bertulisan.
Apakah kauharapkan aku ke mari seperti semula,
belum penuh dengan coretan?
Ada yang ingin menulis aksara demi aksara
dan tahu tak akan mencapai kalimat meski ada tanda seru
di ujungnya. Tidak semua memerlukan tulisan,
(Apakah aku kaubayangkan selembar kertas itu?)
meski sudah terlanjur tercatat sebelum sempat diucapkan.
Air menyeret catatan berkelok-kelok di sepanjang sungai
bila penghujan. Tetapi sama sekali tak terbaca
bahkan ketika sudah begitu rekah-rekah perangai
kemarau. Tinggal garis-garis yang carut-marut di dasarnya.
Kau mengharapkanku kembali seperti itu? Risaukah kita
ketika menyadari bahwa tulisan tak perlu, ternyata?

Sonet 11
Terima kasih, kartu pos bergambar yang kaukirim dari Yogya
sudah sampai kemarin. Tapi aku tak pernah mengirim apa pun,
kau tahu itu. Aku sedang kena macet, Jakarta seperti dulu juga
ketika suatu sore buru-buru kau kuantar ke stasiun.
Tapi aku tak sempat menulis apa pun akhir-akhir ini.
Aku suka membayangkan kau kubonceng sepeda sepanjang Lempuyangan
berhenti di warung bakso di seberang kampus yang sudah sepi.
Kau masih seperti dulu rupanya, menyayangiku? Bayangkan
kalau nanti kita ke sana lagi! Di kartu pos itu ada gambar jalan
berkelok, bermuara di sebuah taman tua tempat kita suka nyasar
melukiskan hutan, sawah, kebun buah, dan taman
yang ingin kita lewati: gelas yang tak pernah penuh. Hahaha, dasar!
Aku suka membayangkan kartu pos itu memuat gambarmu,
residu dari berapa juta helaan dan hembusan napasku dulu.

Sonet 12
Perjalanan kita selama ini ternyata tanpa tanda baca,
tak ada huruf kapital di awalnya. Yang tak kita ingat
aksara apa. Kita tak pernah yakin apakah titik mesti ada;
tanpa tanda petik, huruf demi huruf berderet rapat –
dan setiap kali terlepas, kita pun segera merasa gerah lagi
dihimpitnya. Tanpa pernah bisa membaca ulang dengan cermat
harus terus kita susun kalimat demi kalimat ini –
tanpa perlu merisaukan apakah semua nanti mampat
pada sebuah tanda tanya. Tapi, bukankah kita sudah mencari
jawaban, sudah tahu apa yang harus kita contreng
jika tersedia pilihan? Dan kemudian memulai lagi
merakit alinea demi alinea, menyusun sebuah dongeng?
Tapi bukankah tak ada huruf kapital ketika kita bicara?
Bukankah kisah cinta memang tak memerlukan tanda baca?


Sonet 13
Titik-titik hujan belum juga lepas dari tubir daun itu;
ditunggunya kita lewat. Kupandang ke atas:
sebutir jatuh di bulu matamu, yang lain meluncur di pelipismu.
Pohon itu kembali menatapmu, hanya selintas.
Diberkahinya tanganku yang ingin sekali mengusap basah
yang mendingin di wajahmu. Kau seperti ingin melakukan
sesuatu. Aku pun mendadak menghentikan langkah
sejenak – jangan tergesa, agar bisa kaubaca niat titik hujan.
Butir-butir hujan menderas dari sudut-sudut daun itu
tepat ketika kita lewat. Kupandang ke atas.
Pohon itu tak lagi menatapmu. Ada yang membasahi kerudungmu,
meluncur ke dua belah pundakmu. Dibiarkannya kita melintas.
Kita pun bergegas agar segera sampai ke ujung jalan
tanpa bicara. Tak lagi berniat menafsirkan titik hujan

SONET: X
Siapa menggores di langit biru
Siapa meretas di awan lalu
Siapa mengkristal kabut itu
Siapa mengertap di bunga layu
Siapa cerna di warna ungu
Siapa bernafas di detak waktu
Siapa berkelebat setiap kubuka pintu
Siapa mencair di bawah pandangku
Siapa terucap di celah kata-kataku
Siapa mengaduh di baying-bayang sepiku
Siapa tiba menjemputku berburu
Siapa tiba-tiba menyibak cadarku
Siapa meledak dalam diriku
: siapa AKU
“Kau bertanya tentang puisi yang indah. Berulang aku bilang tak tahu batas-batasnya. Aku hanya tahu puisi yang begitu terbacakan, tiba-tiba hatiku terisi penuh sekaligus kosong. Benderang sekaligus syahdu. Gejolak sekaligus redam. Bagaimana aku bisa menggambarkannya dengan pisau analisa?”
“Ada lagi. Ia mengungkungku sekaligus membebaskanku. Bukankah tiada yang lebih indah ketika semua warna terpancarkan, dan kita terbeku tanpa memilih, membiarkan semua berlalu tanpa sebuah penilaian?”

Tiba-Tiba Malam pun risik

tiba-tiba malam pun risik
beribu Bisik
tiba-tiba engkau pun lengkap menerima
satu-satunya Duka

Berjalan di Belakang Jenazah


berjalan di belakang jenazah angin pun reda
jam mengerdip
tak terduga betapa lekas
siang menepi, melapangkan jalan dunia
di samping: pohon demi pohon menundukkan kepala
di atas: matahari kita, matahari itu juga
jam mengambang di antaranya
tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya

Dalam Bus
langit di kaca jendela bergoyang
terarah ke mana
wajah di kaca jendela yang dahulu juga
mengecil dalam pesona
sebermula adalah kata
baru perjalanan dari kota ke kota
demikian cepat
kita pun terperanjat: waktu henti ia tiada

Dalam Doa: II
saat tiada pun tiada
aku berjalan (tiada
gerakan, serasa
isyarat) Kita pun bertemu
sepasang Tiada
tersuling (tiada
gerakan, serasa
nikmat): Sepi meninggi

KAMI BERTIGA
dalam kamar ini kami bertiga:
aku, pisau dan kata –
kalian tahu, pisau barulah pisau kalau ada darah di matanya
tak peduli darahku atau darah kata

pada suatu hari nanti

pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau tak akan kurelakan sendiri
pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati
pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau tak akan letih-letihnya kucari

PERTEMUAN
Perempuan mengirimkan air matanya
Ke tanah-tanah cahara, ke kutub-kutub bulan
Ke landasan cakrawala, kepalanya di atas bantal
Lembut bagai bianglala
Lelaki tak pernah menoleh
Dan di setiap jejaknya; melebat hutan-hutan,
hibuk pelabuhan-pelabuhan, di pelupuknya sepasang matahari
Keras dan fana
Dan serbuk-serbuk hujan
tiba dari arah mana saja (cadar bagi rahim yang terbuka,
udara yang jenuh)
Ketika mereka berjumpa, di ranjang ini

MAUT
Maut dilahirkan waktu fajar
Ia hidup dari mata air;
Itu sebabnya ia tak pernah mengungkapkan seluk-beluk karat
yang telah mengajarinya bertarung
melawan hidup; ia juga takkan mau
Menjawab teka-teki sejakala
Yang telah menahbiskannya
Menjadi Penjaga gerbang itu
Maut mencintai fajar
dan mata air, dengan tulus

Narcissus
seperti juga aku: namamu siapa, bukan?
pandangmu hening di permukaan telaga dan rindumu dalam
tetapi jangan saja kita bercinta
jangan saja aku mencapaimu dan kau padaku menjelma
atau tunggu sampai angin melepaskan selembar daun
dan jatuh di telaga: pandangmu berpendar, bukan?
cemaskah aku kalau nanti air hening kembali?
cemaskah aku kalau gugur daun demi daun lagi

PERAHU KERTAS
Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas dan kau layarkan di tepi kali; alirnya Sangat tenang, dan perahumu bergoyang menuju lautan.
“Ia akan singgah di bandar-bandar besar,” kata seorang lelaki tua. Kau sangat gembira, pulang dengan berbagai gambar warna-warni di kepala.
Sejak itu kau pun menunggu kalau-kalau ada kabar dari perahu yang tak pernah lepas dari rindu-mu itu.
Akhirnya kau dengar juga pesan si tua itu, Nuh, katanya,
“Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah banjir besar dan kini terdampar di sebuah bukit.”
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

KEPOMPONG ITU
kepompong yang tergantung di daun jambu itu mendengar kutukmu yang kacau terhadap hawa lembab ketika kau menutup jendela waktu hari hujan
kepompong itu juga mendengar rohmu yang bermimpi dan meninggalkan tubuhmu: melepaskan diri lewat celah pintu, melayang di udara dingin sambil bernyanyi dengan suara bening dan bermuatan bau bunga
dan kepompong itu hanya bisa menggerak-gerakkan tubuhnya ke kanan-kiri, belum saatnya ia menjelma kupu-kupu; dan, kau tahu , ia tak berhak bermimpi
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

KISAH

Kau pergi, sehabis menutup pintu pagar sambil sekilas menoleh namamu sendiri yang tercetak di plat alumunium itu. Hari itu musim hujan yang panjang dan sejak itu mereka tak pernah melihatmu lagi.
Sehabis penghujan reda, plat nama itu ditumbuhi lumut sehingga tak bisa terbaca lagi.
Hari ini seorang yang mirip denganmu nampak berhenti di depan pintu pagar rumahmu, seperti mencari sesuatu. la bersihkan lumut dari plat itu, Ialu dibacanya namamu nyaring-nyaring.
Kemudian ia berkisah padaku tentang pengembaraanmu.
Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.

akulah si telaga
berlayarlah di atasnya;
berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan bunga-bunga padma;
berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;
sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja
– perahumu biar aku yang menjaganya
Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.

KUKIRIMKAN PADAMU
kukirimkan padamu kartu pos bergambar, istriku,
par avion: sebuah taman kota, rumputan dan bunga-bunga, bangku dan beberapa orang tua, burung-burung merpati dan langit yang entah batasnya.
Aku, tentu saja, tak ada di antara mereka.
Namun ada.
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

SAJAK SUBUH
Waktu mereka membakar gubuknya awal subuh itu ia baru saja bermimpi tentang mata air. Mereka berteriak, “Jangan bermimpi!” dan ia terkejut tak mengerti.
Sejak di kota itu ia tak pernah sempat bermimpi. Ia ingin sekali melihat kembali warna hijau dan mata air, tetapi ketika untuk pertama kalinya. Ia bermimpi subuh itu, mereka membakar tempat tinggalnya.
“Jangan bermimpi!” gertak mereka.
Suara itu terpantul di bawahjembatan dan tebing-tebing sungai. Api menyulut udara lembar demi lembar, lalu meresap ke pori-pori kulitnya. Ia tak memahami perintah itu dan mereka memukulnya, “Jangan bermimpi! “
Ia rubuh dan kembali bermimpi tentang mata air dan …..

BUNGA, 1
Oleh :
Sapardi Djoko Damono
(i)
Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia rekah di tepi padangwaktu hening pagi terbit;
siangnya cuaca berdenyut ketikanampak sekawanan gagak terbang berputar-putar di atas padang itu;
malam hari ia mendengar seru serigala.
Tapi katanya, “Takut? Kata itu milik kalian saja, para manusia. Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!”

(ii)
Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia kembang di sela-selageraham batu-batu gua pada suatu pagi, dan malamnya menyadari bahwa tak nampak apa pun dalam gua itu dan udara ternyata sangat pekat dan tercium bau sisa bangm dan terdengar seperti ada embik terpatah dan ia membayangkan hutan terbakar dan setelah api ….
Teriaknya, “Itu semua pemandangan bagi kalian saja, para manusia! Aku ini si bunga rumput: pilihan dewata!”

ATAS KEMERDEKAAN
kita berkata : jadilah
dan kemerdekaan pun jadilah bagai laut
di atasnya : langit dan badai tak henti-henti
di tepinya cakrawala
terjerat juga akhirnya
kita, kemudian adalah sibuk
mengusut rahasia angka-angka
sebelum Hari yang ketujuh tiba
sebelum kita ciptakan pula Firdaus
dari segenap mimpi kita
sementara seekor ular melilit pohon itu :
inilah kemerdekaan itu, nikmatkanlah
Horison

CERMIN, 1
cermin tak pernah berteriak;
ia pun tak pernah meraung, tersedan, atau terhisak,
meski apa pun jadi terbalik di dalamnya;
barangkali ia hanya bisa bertanya:
mengapa kau seperti kehabisan suara?
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982. Thn III, No. 8
Agustus 1968

SAJAK NOPEMBER
Siapa yang akan berbicara untuk kami
siapa yang sudah tahu siapa sebenarnya kami ini
bukanlah rahasia yang mesti diungkai dari kubur
yang berjejal
bukanlah tuntutan yang terlampau lama mengental
tapi siapa yang bisa memahami bahasa kami
dan mengerti dengan baik apa yang kami katakan
siapa yang akan berbicara atas nama kami
yang berjejal dalam kubur
bukanlah pujian-pujian kosong yang mesti dinyanyikan
bukanlah upacara-upacara palsu yang mesti dilaksanakan
tapi siapa yang sanggup bercakap-cakap dengan kami
siapa yang bisa paham makna kehendak kami
kami yang telah lahir dari ibu-ibu yang baik dan sederhana
ibu-ibu yang rela melepaskan seluruh anaknya sekaligus
tanpa dicatat namanya
kepada Ibu yang lebih besar dan agung :
ialah Tanah Air
kami telah menyusu dari pada bunda yang tabah
yang rela melepaskan seluruh anaknya sekaligus
untuk pergi lebih dahulu
apakah kau dengan para bunda itu mencari kubur kami
apakah kau dengar para bunda itu memanggil nama kami
mereka hanya berkaata : akan selalu kami lahirkan anak-anak yang baik
tanpa mengeluh serta putus asa
di Solo dua orang dalam satu kuburan
di Makasar sepuluh orang dalam satu kuburan
di Surabaya seribu orang dalam satu kuburan
dan kami tidak menuntut nisan yang lebih baik
tapi katakanlah kepada anak cucu kami;
di sini telah dikubur pamanmu, ayahmu, saudaramu
bertimbun dalam satu lobang
dan tiada yang tahu siapa nama mereka itu satu-persatu
tambur yang paling besar telah ditabuh
dan orang-orang pun keluar untuk mengenangkan kami
terompet yang paling lantang ditiup
dan mereka berangkat untuk menangiskan nasib kami dulu
kami pun bangkit dari kubur
memeluki orang-orang itu dan berkata : pulanglah
kami yang mati muda sudah tentram, dan jangan
diusik oleh sesal yang tak keruan sebabnya
kami hanya berkelahi dan sudah itu : mati
kami hanya berkelahi untukmu, untuk mereka
dan hari depan, sudah itu : mati
orang-orang pun menyiramkan air bunga yang wangi saat itu
tanpa tahu siapa kami ini
tiada mereka dengarkan ucapan terimakasih kami yang tulus
tiada mereka dengarkan salam kami bagi yang tinggal
tiada mereka lihatkah senyum kami yang cerah
dan sudah itu : mati
siapa berkata bahwa kami telah musnah
siapa berkata
kami kenal nama-namamu di mesjid di gereja di jalan di pasar
kami kenal nama-namamu di gunung di lembah di sawah
di ladang dan di laut, meskipun kalian
tiada menyadari kehadiran kami
siapa berkata bahwa kami telah musnah
siapa berkata
tanah air adalah sebuah landasan
dan kami tak lain baja yang membara hancur
oleh pukulan
ialah kemerdekaan
kemarin giliran kami
tapi besok mesti tiba giliranmu
kalau saja kau masih mau tahu ucapan terimakasih
terhadap tanah tempatmu selama ini berpijak
hidup dan mengerti makna kemerdekaan
dan kami adalah baja yang membara di atas landasan
dibentuk oleh pukulan : ialah kemerdekaan
(mungkin besok tiba giliranmu)
siapa yang tahu cinta saudara, paman dan bapa
siapa yang bisa merasa kehilangan saudara, paman dan bapak
ingat untuk apa kamu pergi
siapa yang pernah mendengar bedil, bom dan meriam
siapa yang sempat melihat luka, darah dan bangkai manusia
ingat kenapa kami tak kembali
begitu hebatkah kemerdekaan itu hingga kami korbankan
apa saja untuknya
jawablah : ya
begitu agungkah ia hingga kami tak berhak menuntut apa-apa
jawab lagi : ya
sudah kau dengarkah suara sepatu kami tengah malam hari
datang untuk memberkati anak-anak yang tidur
sebab merekalah yang kelak harus bisa mempergunakan
bahasa dan kehendak kami
sudah kau dengarkah suara napas kami
menyusup ke dalam setiap rahim bunda yang subur
sebab kami selalu dan selalu lahir kembali
selalu dan selalu berkelahi lagi
mungkin pernah kau kenal kami dahulu, mungkin juga tidak
mungkin pernah kau jumpa kami dahulu, mungkin juga tidak
tapi toh tak ada bedanya:
kami telah memulainya
dan kalian sekarang yang harus melanjutkannya
dan memang tak ada bedanya :
kalau hari itu bagi kami adalah saat penghabisan
bagimu adalah awal pertaruhan
awal dari apa yang terlaksana kemarin, kini besok pagi
meski kami pernah kau kenal atau tidak
meski kami pernah kau jumpa atau tidak
kami adalah buruh, pelajar, prajurit dan bapa tani
yang tak sempat mengenal nama masing-masing dengan baik
kami turun dari kampung, benteng, ladang dan gunung
lantaran satu harapan yang pasti
walau tak pernah kembali
kami hanyalah kubur yang rata dengan tanah dan tak bertanda
kami hanyalah kerangka-kerangka yang tertimbun dan tak punya nama
tapi hari ini doakan sesuatu yang pantas bagi kami
agar Tuhan yang selalu mendengar bisa mengerti dan
mengeluarkan ampun
kami adalah mayat-mayat yang sudah lebur dalam bumi
tapi adukan segala yang pantas tentang diri kami ini
agar tak lagi mengembara arwah kami
kami telah lahir, hidup dan berkelahi : dan mati
kami telah mati
lahir dari para ibu yang mengerti untuk apa kami lahir di sini
hidup di bumi yang mengerti semangat yang menjalankan kami
kami telah berkelahi; dan mati
tapi siapakah yang bisa menterjemahkan bahasa hati kami
dan mengatakannya kepada siapa pun
tapi siapakah yang bisa menangkap bahasa jiwa kami
yang telah mati pagi sekali
dan berjalan tanpa nama dan tanda
dalam satu lobang kubur
kami telah lahir dan selalu lahir
selalu dan selalu lahir dari para bunda yang tabah
selalu dan selalu berkelahi
di mana dan kapan saja
biarkan kami bicara lewat suara anak-anak
yang menyanyikan lagu puja hari ini
biarkanlah kami bicara lewat kesunyian suasana
dari orang-orang yang mengheningkan cipta hari ini
Sementara bendera yang kami tegakkan dahulu berkibar
atas rasa bangga kami yang sederhana
biarkanlah kami bicara hari ini
lewat suara anak-anak yang menyanyikan lagu puja
lewat kesunyian suasana orang-orang yang mengheningkan cipta.

Sajak-sajak Sapardi Djoko Damono
Kolam di Pekarangan
/1/
Daun yang membusuk di dasar kolam itu masih juga tengadah ke ranting pohon jeruk yang dulu melahirkannya.
Ia ingin sekali bisa merindukannya.
Tak akan dilupakannya hari itu menjelang subuh hujan terbawa angin memutarnya pelahan, melepasnya dari ranting yang dibebani begitu banyak daun yang terus-menerus berusaha untuk tidak bergoyang.
Ia tak sempat lagi menyaksikan matahari yang senantiasa hilang-tampak di sela-sela rimbunan yang kalau siang diharapkan lumut yang membungkus batu-batu dan menempel di dinding kolam itu.
Ada sesuatu yang dirasakannya hilang di hari pertama ia terbaring di kolam itu, ada lembab angin yang tidak akan bisa dirasakannya lagi di dalam kepungan air yang berjanji akan membusukkannya segera setelah zat yang dikandungnya meresap ke pori-porinya.
Ada gigil matahari yang tidak akan bisa dihayatinya lagi yang berkas-berkas sinarnya suka menyentuh-nyentuhkan hangatnya pada ranting yang hanya berbisik jika angin lewat tanpa mengatakan apa-apa.
Zat itu bukan angin. Zat itu bukan cahaya matahari.
Zat itu menyebabkannya menyerah saja pada air yang tak pernah bisa berhenti bergerak karena ikan-ikan yang di kolam itu diperingatkan entah oleh Siapa dulu ketika waktu masih sangat purba untuk tidak pernah tidur. Ia pun bergoyang ke sana ke mari di atas hamparan batu kerikil yang mengalasi kolam itu. Tak pernah terbayangkan olehnya bertanya kepada batu kerikil mengapa kamu selalu memejamkan mata. Ia berharap bisa mengenal satu demi satu kerikil itu sebelum sepenuhnya membusuk dan menjadi satu dengan air seperti daun-daun lain yang lebih dahulu jatuh ke kolam itu. Ia tidak suka membayangkan daun lain yang kebetulan jatuh di kaki pohon itu, membusuk dan menjadi pupuk, kalau kebetulan luput dari sapu si tukang kebun.
*
Ia ingin sekali bisa merindukan ranting pohon jeruk itu.
*


Ingin sekali bisa merindukan dirinya sebagai kuncup.
/2/
Ikan tidak pernah merasa terganggu setiap kali ada daun jatuh ke kolam, ia memahami bahwa air kolam tidak berhak mengeluh tentang apa saja yang jatuh di dalamnya. Air kolam, dunianya itu. Ia merasa bahagia ada sebatang pohon jeruk yang tumbuh di pinggir kolam itu yang rimbunannya selalu ditafsirkannya sebagai anugerah karena melindunginya dari matahari yang wataknya sulit ditebak. Ia senang bisa bergerak mengelilingi kolam itu sambil sesekali menyambar lumut yang terjurai kalau beberapa hari lamanya si empunya rumah lupa menebarkan makanan. Mungkin karena tidak bisa berbuat lain, mungkin karena tidak akan pernah bisa memahami betapa menggetarkannya melawan arus sungai atau terjun dari ketinggian, mungkin karena tidak pernah merasakan godaan umpan yang dikaitkan di ujung pancing. Ia tahu ada daun jatuh, ia tahu daun itu akan membusuk dan bersenyawa dengan dunia yang membebaskannya bergerak ke sana ke mari, ia tahu bahwa daun itu tidak akan bisa bergerak kecuali kalau air digoyang-goyangnya. Tidak pernah dikatakannya Jangan ikut bergerak tinggal saja di pojok kolam itu sampai zat entah apa itu membusukkanmu. Ikan tidak pernah percaya bahwa kolam itu dibuat khusus untuk dirinya oleh sebab itu apa pun bisa saja berada di situ dan bergoyang-goyang seirama dengan gerak air yang disibakkannya yang tak pernah peduli ia meluncur ke mana pun. Air tidak punya pintu.
*
Kadangkala ia merasa telah melewati pintu demi pintu.
*
Merasa lega telah meninggalkan suatu tempat dan tidak hanya tetap berada di situ.
/3/
Air kolam adalah jendela yang suka menengadah menunggu kalau-kalau matahari berkelebat lewat di sela rimbunan dan dengan cerdik menembusnya karena lumut merindukannya. Air tanpa lumut? Air, matahari, lumut. Ia tahu bahwa dirinya mengandung zat yang membusukkan daun dan menumbuhkan lumut, ia juga tahu bahwa langit tempat matahari berputar itu berada jauh di luar luar luar sana, ia bahkan tahu bahwa dongeng tentang daun, ikan, dan lumut yang pernah berziarah ke jauh sana itu tak lain siratan dari rasa gamang dan kawatir akan kesia-siaan tempat yang dihuninya. Langit tak pernah firdaus baginya. Dulu langit suka bercermin padanya tetapi sekarang terhalang rimbunan pohon jeruk di pinggirnya yang semakin rapat daunnya karena matahari dan hujan tak putus-putus bergantian menyayanginya. Ia harus merawat daun yang karena tak kuat lagi bertahan lepas dari tangkainya hari itu sebelum subuh tiba. Ia harus merawatnya sampai benar-benar busuk, terurai, dan tak bisa lagi dikenali terpisah darinya. Ia pun harus habis-habisan menyayangi ikan itu agar bisa terus-menerus meluncur dan menggoyangnya. Air baru sebenar-benar air kalau ada yang terasa meluncur, kalau ada yang menggoyangnya, kalau ada yang berterima kasih karena bisa bernapas di dalamnya. Ia sama sekali tak suka bertanya siapa gerangan yang telah mempertemukan kalian di sini. Ia tak peduli lagi apakah berasal dari awan di langit yang kadang tampak bagai burung kadang bagai gugus kapas kadang bagai langit-langit kelam kelabu. Tak peduli lagi apakah berasal dari sumber jauh dalam tanah yang dulu pernah dibayangkannya kadang bagai silangan garis-garis lurus, kadang bagai kelokan tak beraturan, kadang bagai labirin.
*
Ia kini dunia.
*
Tanpa ibarat.

sajak desember
kutanggalkan mantel serta topiku yang tua
ketika daun penanggalan gugur
lewat tengah malam. kemudian kuhitung
hutang-hutangku pada-Mu
mendadak terasa: betapa miskinnya diriku;
di luar hujan pun masih kudengar
dari celah-celah jendela. ada yang terbaring
di kursi letih sekali
masih patutkah kuhitung segala milikku
selembar celana dan selembar baju
ketika kusebut berulang nama-Mu; taram
temaram bayang, bianglala itu
1961


Nocturno

kubiarkan cahaya bintang memilikimu
kubiarkan angin yang pucat
dan tak habis-habisnya gelisah
tiba-tiba menjelma isyarat merebutmu
entah kapankah bisa kutangkap

Mata Pisau
mata pisau itu tak berkejap menatapmu
kau yang baru saja mengasahnya
berfikir: ia tajam untuk mengiris apel
yang tersedia di atas meja
sehabis makan malam;
ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu

Mata Jendela
Pandanglah yang masih sempat ada…
Pandanglah aku: sebelum susut dari Suasana…
Sebelum pohon-pohon di luar tinggal suara…
Terpantul si dinding-dinding gua…
Pandang dengan cinta…
Meski segala pun sepi tandanya waktu kau bertanya-tanya,
Bertahan setia langit mengekalkan warna birunya…
Bumi menggenggam seberkas bunga, padamu semata

Pada Suatu Pagi Hari
Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa.
Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk memecahkan cermin mambakar tempat tidur. Ia hanya ingin menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik-rintik di lorong sepi pada suatu pagi

Metamorfosis
ada yang sedang menanggalkan
kata-kata yang satu demi satu
mendudukkanmu di depan cermin
dan membuatmu bertanya
tubuh siapakah gerangan
yang kukenakan ini
ada yang sedang diam-diam
menulis riwayat hidupmu
menimbang-nimbang hari lahirmu
mereka-reka sebab-sebab kematianmu
ada yang sedang diam-diam
berubah menjadi dirimu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar