20
Tahun Tragedi Marsinah :
Simbolisme
Perjuangan Buruh yang Terlupakan
oleh : Ike Desi Florina
Siapa yang tak kenal
Marsinah? Seorang aktivis buruh yang dianggap sebagai Pahlawan Buruh oleh kaumnya.
Membaca Marsinah, seperti membuka luka lama mengenai tragedi kemanusiaan pada Mei
tahun 1993 silam. Sebuah aksi unjuk rasa buruh pada PT. Catur Putra Surya (CPS)
perusahaan jam tangan di Sidoarjo 3-4 Mei 1993, berujung pada tewasnya Marsinah
secara tidak wajar dengan luka penganiayaan yang cukup berat.
Pemogokan dan unjuk
rasa para buruh karyawan CPS bermula dari surat edaran Gubernur Jawa Timur No.
50/Th. 1992, berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan
karyawan dengan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok. Sayang, imbauan tersebut
tidak digubris oleh PT. CPS hingga akhirnya terjadi unjuk rasa tegang antara
buruh PT. CPS dengan pihak manajemen pabrik, yang juga melibatkan anggota militer.
Diduga, Marsinah menjadi korban pembunuhan berkaitan dengan unjuk rasa
tersebut.
Kematiannya yang ganjil
hingga proses peradilan yang terkesan direkayasa oleh penguasa, senyatanya
menorehkan luka banyak pihak. Sekalipun dikemudian waktu, kasasi Mahkamah Agung
menyatakan putusan bebas murni terhadap para terdakwa dalam Kasus Marsinah,
namun hingga kini tidak menghasilkan sebuah keputusan final mengenai siapa
sesungguhnya yang bertanggungjawab atas kematian Marsinah.
Persoalan buruh lahir
bersama seiring dengan munculnya industrialisasi dalam sebuah masyarakat. Karl
Marx, seorang sosialis melontarkan gagasan tentang solusi permasalahan perburuhan
dalam masyarakat kapitalis. Menurutnya mengeluarkan buruh dari eksploitasi dan
penindasan hanya bisa terjadi melalui revolusi. Melalui revolusilah
pertentangan kelas, antara kaum borjuis atau pemilik alat produksi dengan kaum
proletar atau kaum buruh akan terselesaikan. Gagasan perubahan Marx dipusatkan
pada peningkatan kelayakan hidup kaum proletar, agar lebih mempunyai kesempatan
dalam memperoleh kewenangan hidup.
Meskipun hingga kini
kesejahteraan kaum buruh belum tercapai, namun tidak pernah sekalipun mereka lelah
memperjuangkan apa yang seharusnya menjadi haknya. Seperti kenaikan Upah
Minimum Regional (UMR), perbaikan kesejahteraan, penghapusan sistem alih daya (outsourcing), hingga perubahan peraturan
pemerintah yang tidak mendukung masyarakat miskin dan kaum buruh.
Simbolisme
Sebuah kesepakatan
bersama bagi kaum buruh diseluruh Indonesia menyematkan Marsinah sebagai
Pahlawan Buruh. Marsinah merupakan simbol kebangkitan buruh melawan represi dan
kesewenangan penguasa kala itu. Simbol perjuangan buruh guna mendapatkan hak,
memperbaiki kesejahteraan dan meningkatkan kualitas hidupnya.
Meski ia telah tiada, bahkan
dua puluh tahun telah lewat tanpa pengungkapan kematiannya. Akan tetapi
perjuangannya tetap kuat dan mengakar, tersimbolkan oleh semangat dan
keberaniannya yang kini diteruskan oleh rekan-rekannya sepanjang masa.
Disini, sosok Marsinah
merepresentasikan sebuah rasa senasib seperjuangan dan niat kuat para buruh. Telah
disepakati bersama menjadi simbol perjuangan buruh melawan ketidakadilan.
Sebuah identifikasi identitas akan sebuah sikap, rasa dan makna keadilan
terbentuk bersama bagi seluruh buruh di Indonesia, sehingga tak heran jika
setiap tahunnya kaum buruh selalu menyuarakan haknya serta menunutut keadilan
bagi pahlawan mereka.
Tanpa jeda, kekuatan kaum
buruh terus menguat. Dibuktikan pada Peringatan Hari Buruh (Mayday) 1 Mei 2013 ini, sekitar 200 ribu
buruh akan bergerak kembali secara serempak dalam upaya menyalurkan asipirasi
dan menagih janji kepada para penguasa.
Terlupakan
Pada tahun ini, genap
dua puluh tahun keadilan bagi Marsinah tidak kunjung terungkap. Menurut
peraturan yang berlaku pada hukum di Indonesia, pengungkapan kasus pembunuhan memiliki
kadarluwarsa penyelesaian kasus selama dua puluh tahun. Itu artinya sebuah tragedi
kemanusiaan dan pertanyaan besar siapa yang bertanggungjawab atas kematian
Marsinah, tidak akan terjawab karena kasus akan ditutup.
Penguasa terkesan
membiarkan apa yang telah terjadi di masa lalu dan menjadi luka yang terus
menganga. Padahal banyak pihak telah berusaha menjadikan
kasus Marsinah sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia. Artinya, sebuah kasus
pelanggaran HAM tidak memiliki kadarluwarsa. Organisasi buruh
internasional melalui ILO pun senantiasa menuntut pemerintah RI untuk tetap
berupaya mengusut tuntas Kasus Marsinah yang dalam catatan ILO disebut dengan
kasus 1713.
Pemerintah RI mulai berkomitmen untuk mengusut tuntas kasus Marsinah pada saat pemerintahan era Presiden Abdurrahman Wahid dengan perintah agar melakukan penyelidikan dan penyidikan lanjutan guna mengungkap dan menuntaskan Kasus Marsinah. Dilanjutkan pada saat pemerintahan era Presiden Megawati Soekarno Putri yang juga memiliki komitmen yang sama. Namun, sampai pemerintahan saat ini pun kasus Marsinah belum terungkap.
Pemerintah RI mulai berkomitmen untuk mengusut tuntas kasus Marsinah pada saat pemerintahan era Presiden Abdurrahman Wahid dengan perintah agar melakukan penyelidikan dan penyidikan lanjutan guna mengungkap dan menuntaskan Kasus Marsinah. Dilanjutkan pada saat pemerintahan era Presiden Megawati Soekarno Putri yang juga memiliki komitmen yang sama. Namun, sampai pemerintahan saat ini pun kasus Marsinah belum terungkap.
_Ike
Desi Florina, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Sebelas Maret.
Bertempat tinggal di Purwokerto_
* Terbit 01 Mei 2013, pada kolom Public Service - Satelit Post. Purwokerto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar