Jumat, 09 November 2012

Resensi novel Manusia Langit


Manusia Langit
J.A Sonjaya


Novel “Manusia Langit”, karangan Sonjaya ini berbicara mengenai suku pedalaman di Kepulauan Nias (suku Banuaha), namun dibungkus dengan cerita kehidupan manusia.  Mulai dari perdebatan ego, harga diri hingga kisah romantika yang cukup menarik.
Alur cerita mudah dipahami. Tutur bahasa yang digunakan pun sederhana, namun penuh makna. Pengarang dengan pengalamannya sebagai dosen yang telah banyak turun ke lapangan langsung memiliki karakter tersendiri dalam penulisannya. Ia menggabungkan antara fiksi dan realitas yang ditemukannya.

Ketika membaca novel ini, saya sangat terkejut dengan realitas apa yang dihadirkan oleh pengarang, khususnya adat suku Banuaha. Suku yang menetap jauh dari pusat kota, membangun kehidupannya sendiri dengan adat yang dijunjung penuh. Bagaimana sebuah harga diri karena ‘tuntutan’ adat menjadi begitu mahal. Tak ayal pengarang mencoba menganalogikan kondisi tersebut dengan kondisi yang sering ia terima di kota, sebuah status sosial harus dicari dengan pengorbanan ekonomi yang tidak sedikit.

Sebuah aturan adat yang tidak tertulis mengatur kehidupan suku Banuaha dengan sangat ketat, namun sangat dipatuhi dan dihormati. Berbeda dengan (lagi-lagi pengarang membandingkan dengan realitas)  kota yang banyak sekali aturan tertulis namun berakhir dengan pelanggaran oleh ‘kaumnya’.
“Aturan dibuat untuk dilanggar,” batin saya tersenyum miris

Belum lagi, mahalnya sosok perempuan di Banuaha. Saya tak bisa bayangkan berapa total ‘harga’ seorang perempuan, yang dihitung mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Hal tersebut menjadikan kesulitan bagi pria Banuaha yang ingin meminangnya.
Ironisnya setelah perhelatan pesta yang besar serta ‘pembelian’ perempuan –dengan nilai adat dan ekonomi yang cukup besar- pada suku Banuaha, perempuan seakan hanya dipakai untuk urusan domestic. Mulai dari memasak, memberi makan hewan peliharaan (umumnya babi), meladang hingga urusan melayani ‘kewajiban’ seorang istri. Semua dilakukan perempuan diterima tanpa sedikitpun mengeluh. Dari mulai fajar menyongsong hingga kembali keperaduannya, perempuan di Banuaha bekerja dengan seluruh tenaga dan pikirannya.

Terlepas dari itu semua, sebuah kisah romantic membumbui keseluruhan cerita, tanpa harus penuh menghadirkan sosok wanita yang dicintai tokoh utama. Namun karena kekasih hatinya pula, sang tokoh belajar mengenai kehidupan ini. Tokoh utama belajar menerima sebuah kehidupan melalui kisah perjalanan hidupnya, melalui pertemuan dengan kekasih, melalui pemaknaan hidup yang penuh bijak dari sosok yang sangat bijak dan ia hormati.

----------------------------------------------------------------------------------------------
Sebuah kehidupan akan dimaknai, ketika kita sudah melalui proses panjang…
kehidupan kita akan dipahami dan sadari, ketika kita bisa bercermin pada kehidupan lainnya…
 
-Solo, 101112-

 ----------------------------------------------------------------------------------------------
 ----------------------------------------------------------------------------------------------

Kutipan novel Manusia Langit :


“Kian dalam aku berpikir kian dalam aku menyadari bahwa aku ternyata tidak hidup sendiri. Aku telah terikat pada jarring, baik yang dipintal orang lain maupun yang dipintal sendiri. ‘Akankah aku membiarkan diri terikat dan terantung pada jarring itu terus?”

“… banyak sekali alasan dibalik tindakan seseorang, dan alasan itu tidak selalu gampang kita pahami karena manusia dikendalikan oleh aturan yang sangat rumit.”

“… itulah hidup. Seringkali kita berusaha menjunjung harga diri setinggi-tingginya meski dalam beberapa hal harga diri membelenggu kita, membuat kita tidak bebas.”

“Ya, semua yang ada didunia ini tak ada yang kekal, pasti berubah.”

Negosiasi merupakan proses interaksi dimana setiap orang berusaha menegaskan, mengubah, mempertentangkan atau mendukung citra diri yang diinginkan.
Inilah uniknya identitas.Ia dipaksa untuk tampak agar orang-oran didalamnya bisa dibedakan dengan orang lain.

“Ternyata beda melihat dunia kita dengan mata lelah dan mata jernih”.
“”Ternyata beda melihat kenyataan di hadapan kita dengan perasaan marah dan cinta kasih”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar