Minggu, 16 September 2012

sekilas Novel Perahu Kertas

...
Ubud, Mei 2003... 


“Poyan…..”
“Ada apa De?” 
“Bagaimana kita bisa tahu kapan waktunya harus menyerah dan kapan waktunya harus bertahan?”

Mendengar pernyataan Ludhe Pak Wayan berbalik. “Poyan juga tidak pernah tahu,” jawabnya lugas. 
 “Dulu, Poyan memutuskan untuk menyerah. Membiarkan meme2-nya Keenan memilih orang lain.

Kapan Poyan merasa itulah keputusan yang tepat?”

“De, sejujurnya, apakah itu menyerah, atau justru bertahan…. Poyan tidak pernah tahu. Bahkan sampai hari ini. Apakah ini menyerah namanya?. Barangkali betul begitu. Tapi dalam apa yang disebut menyerah, Poyan terus bertahan. Poyan tidak tahu. Tapi hidup yang tahu.”

“Poyan… jangan marah kalau saya ngomong begini, tapi…. saya tidak mau seperti Poyan. Atau seperti meme-nya Keenan. Sepuluh, dua puluh tahun dari hari ini, saya masih terus-terus memikirkan orang yang sama. Bingung di antara penyesalan dan penerimaan”.

Wayan terdiam mendengar luncuran kalimat dari mulut keponakannya. Ia seperti dicekoki segenggam pil pahit sekaligus. Getir, pedih, tapi ia merasakan kebenaran dalam kata-kata Ludhe. “Kamu benar, jangan seperti Poyan,” ujarnya Lirih.

“Tapi, bagaimana saya bisa memutuskan itu?” ratap Ludhe

“De, Poyan percaya hidup ini sudah diatur. Kita tinggal melangkah, sebingung atau sesakit apapun, semua sudah disiapkan bagi kita. Kamu tinggal merasakan saja,” Wayan berkata lembut, “rasakan saja De. Kamu pasti tahu jawabannya. Begitu juga dengan dia. Tidak ada yang bisa memaksakan, apakah Keenan untuk kamu….atau untuk orang lain.”
“Pada akhirnya tidak ada yang bisa memaksa. Tidak juga janji atau kesetiaan. Tidak ada. Sekalipun akhirnya dia memilih untuk tetap bersamamu, hatinya tidak bisa dipaksa oleh apa pun, oleh siapa pun.”
Ludhe menunduk. Menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca. Ia memahami apa yang dikatakan pamannya. Yang belum ia pahami adalah mengapa harus sesakit ini rasanya? 

 ----------------------------------------------------------- 

1. Poyan = paman dalam bahasa Bali 
2. meme = ibu (ditulis ulang dari Novel Perahu Kertas_Dee : 390-391) 

Diatas adalah satu dari beberapa bagian yang ku suka pada novel ini… Kuereeeen abiiiz deh… ^_^ 
Berikut resensinya: 

Cinta : Ya. Novel ini berkisah tentang cinta yang dipendam oleh Kugy dan Keenan. Keduanya teman satu kampus di Bandung. Bagai langit dan sumur. Begitu kata Dee untuk menggambarkan keduanya. Mereka saling mengangumi satu sama lain. Namun, keduanya sama-sama tak mampu untuk mengungkapkannya. Dan, keadaanpun rupanya tak memungkinkan. 

Impian : Kugy, adalah cewek berantakan yang ngebet pingin jadi juru dongeng. Sementara Keenan sangait bercita-cita menjadi seorang seniman, seorang pelukis. Impian tak mulus. Kugy harus melewati hidup dengan realistis menjadi seorang copy writer, sementara Keenan malah harus berbalik arah cukup dratis, bekerja mengurusi perusahaan trading milik ayahnya. Namun, mereka selalu yakin dengan mimpinya. Tak ada yang lebih indah selain keduanya saling mendukung. Dan, begitulah Dee meramu ceritanya dengan apik di dalamnya. Seolah berkata “Jangan Takut Bermimpi” Kejujuran : Inilah akhir cerita yang mengharu biru. Keduanya (Kugy dan Keenan) sempat berpisah sekian lama. Kugy, sudah punya kekasih bernama Remi, bos di kantornya. Sementara, Keenan juga sudah punya kekasih gadis Bali, Luhde namanya. Cerita begitu rumit. Namun, akhirnya Remi sadar bahwa hati Kugy hanya untuk Keenan, sementara Luhde juga sama, walau rasa cinta itu ada, hati Keenan hanya untuk Kugy. Ini kejujuran pertama. Kejujuran kedua, ketika Kugy dan Keenan jujur membuka hati, melepas ego masing-masing,jujur keduanya saling mencintai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar