Rabu, 11 Mei 2016

tentang buruh



Catatan 1.
 
Dalam penelitian saya terdahulu mengenai represi buruh pada masa Orde Baru memang jelas terlihat penyiksaan secara fisik dialami para buruh tersebut. Saat ini bahkan sudah lewat apa yang dinamakan reformasi,  namun kenyataannya para buruh masih mengalami sebuah bentuk represi! Yakni dengan ketidaksadaaran pemilik modal akan sebuah hak-hak dasar yang dimiliki manusia untuk hidup. Para buruh berjuang demi sebuah kehidupan, mereka hanya menuntut hak-hak nya dipenuhi, disesuaikan dengan kebutuhan hidupnya.

Wahai para pemilik modal, tidak kah kau tahu apa makna filosofi ungkapan : “Bayarlah upah buruh sebelum keringatnya mengering!” ?
 Sebuah ungkapan yang maknya cukup simple : ada HAK buruh yang wajib terpenuhi oleh pemilik modal !

Hak dan kewajiban bukan lagi sesuatu yang perlu digembor-gembor lagi, sebagai manusia dewasa tentunya kita harus sadar apa hak dan kewajiban masing-masing. Begitupula dengan para buruh yang sudah mengerjakan kewajibannya, kini saatnya hak mereka dipenuhi.  Keringat mereka telah bercucuran, “jika satu tetes keringat saja tidak ‘dibayar’, apa yang terjadi? “Jika sebuah usaha mereka tidak dihargai, apa yang terjadi?”

Pantang mundur gerakan buruh!  Suarakan HAK dan bangkitkan semangat juang!

-Selamat Hari Buruh-
 (1 Mei 2016)



Catatan 2.


Berbicara tentang buruh pada tulisan terdahulu, melalui ungkapan penuh makna “Bayarlah upah buruh sebelum keringatnya mengering!”, seharusnya hal tersebut tidak hanya diketahui oleh para pemilik modal, melainkan para otoriter yang berada diatas sana.

Seorang anak sekarang yang sok kritis terasa jengah ketika ada yang berkata “ini bukan lagi zaman buruh, yang harus bekerja dulu baru di bayar!”
Lantas anak itu menjawab: “Hellooooowwww justru sekarang bukan lagi saatnya minta bayaran tanpa bekerja! Semua usaha ada timbal baliknya dooonk?!

Benar dooonk apa kata anak itu! Sekarang jamannya berusaha dulu baru meminta haknya, jika masih ada yang berpikir sebaliknya dengan berbagai alasan, itu berarti dia tidak mengerti pasal hak dan kewajiban.  Sekalipun dengan dalih ‘memegang tanggungjawab lebih besar’, bukan berarti dia seenaknya meminta hak yang bukan dari hasil tanggungjawab semestinya.

Sayangnya sedari kecil anak itu diajarkan untuk mendapatkan haknya setelah melaksanakan kewajiban. Jadi kalau mau diteruskan si anak sekarang yang sok kritis itu akan melanjutkan ”oh jadi kamu inginnya ongkang-ongkang kaki saja namun tetap mendapat bayaran?!, sementara yang lain harus bekerja dulu tuk mendapatkan haknya!

“Sadaar doonk! Masih banyak yang berhak atas kerja kerasnya, bukan hanya meminta saja!”,,,
“Hadeeeeehhh!”, mungkin itu ungkapan kekesalannya yang mentok baginya...

Ah, sudahlah,,, matahari hendak bangun dari peraduannya,, pekerjaan ku pun menjadi terlewatkan hanya karena mengingat peristiwa yang diceritakan anak sekarang yang sok kritis itu... so kembali ke kewajibanku duluuuuu... bye! 
(malamsebelasmeiduaribuenambelas)

sekilas introspeksi


  •  Ketika sebuah kelonggaran atau pemakluman menjadi sebuah kebiasaan, hal tersebut justru menjadikan sebuah ketimpangan dan ketidakadikan  bagi yang lain.... Semoga dapat menjadi sosok yang lebih adil. 

  • Dalam konteks sebuah komunikasi, ketika sebuah suara tidak lagi di dengar maka sebuah goresan tinta dapat mewakili pesan yang hendak disampaikan. Tetiba ingat teori spiral of silence, dimana suara yang tidak terdengar, kaum terpinggirkan yang terbenam oleh sebuah dominiasi, akan berubah dari sebuah riak tak terhiraukan menjadi sebuah gelombang besar sebuah perubahan...

  • Melanggengkan dominasi bukan dengan cara membungkam atau menarik mereka yang dianggap mudah dikendalikan!

Jumat, 11 Juli 2014

Intan - Pasir


Intan dan pasir memang tidak bisa dibandingkan
Intan,
dengan segala keindahan, kemurniannya memukau banyak mata
Banyak hati ingin memilikinya
Tapi satu hati yang dimiliki


Pasir?

Hanya butiran yang menemani laut
Hanya butiran yang terbawa ombak
Butiran yang bisa terlepas kapan saja
Sekedar butir, tiada tertera
Hanya selalu ada bersama pantai

(060214)


Kamis, 24 April 2014

* sekilas refleksi Hari Kartini

Ibu

Sosok yang setiap hari ada dalam hidup kita,
Memberi kebahagian, menemani langkah kita, mengobati luka hati kita
Menjadi penentram jiwa

Tapi, sadarkah kita akan semua itu?
Sadarkah kita akan semua pengorbanan dan kasih sayang tanpa batasnya?
Sadarkah kita tuk setidaknya berterimakasih padanya?

Ibu hanya ingin melihat anak-anaknya bahagia
Melihat anak-anaknya sukses
Selalu berdoa agar anak-anaknya menjadi sosok soleh-soleha

Maafkan kami karena belum bisa membalas semua kasih sayang mu..
Maafkan kami karena begitu angkuh mengatakan sayang pada mu
Maafkan kami karena belum bisa memahami mu, seperti kau memahami kami.

kami sayang mama...

(Solo, 30 September 2013)

Jumat, 13 Desember 2013

Kebanggaan Orangtua



Begitu bangga seorang ibu menceritakan kesuksesan anakanaknya
3 jam perjalanan Purwokerto – Jogja tidak menghalanginya tanpa putus bercerita tentang buah hatinya, dan cucucucu kesayangannya

Ya, para Ibu dan Ayah boleh berbangga pada anak-cucu mereka
Mereka berhak ikut menikmati buah yang mereka tanam
Merekalah yang mendidik, merawat dan menjadikan seorang anak seperti dirinya saat ini

Bangga akan sukses serta kebahagiaan sang anak adalah buah termanis yang dapat mereka nikmati
Bangga akan kesolehan keturunan mereka, yang terjaga hingga turunan selanjutnya.

Ayah... Ibu merekalah yang tanpa henti mendoakan kita anak-anaknya agar selalu mendapatkan yang terbaik dari Sang Khalik.

(Kereta Purwokerto-Solo, 26 September 2013)

Tiga warna senja



Seringkali senja berwana jingga
Jingga senja adalah tigawarna
Jingga senja, padu padan ungu dan biru

Mengharu biru menghiasi langit
Menemani matahari kembali kepada peraduannya
Mengawal bulan bintang menyusuri batin bumi

Tiga warna senja, tiga warna alam
Menyiratkan tiga warna kehidupan : hitam putih abu
Tiga warna menemani perjalanan hidup
Meninggalkan jejak lupaterlupakan, ingatmengingatkan

Satu yang pasti, warna hati ini tetap satu ; untukmu Matahariku, kekasih hatiku

(Solo-Purwokerto, 13 September 2013)

Kau adalah buku

Kau adalah sebuah buku,
yang selalu ku baca berulang
selalu ku harapkan ada dalam setiap babnya
selalu ku tandai paragraf penuh makna
selalu ku ingat setiap tanda baca titikkoma

seringkali kucoba simpan disudut terdalam
namun kau selalu muncul dengan daya tarikmu,
menawarkan isi penuh misteri
lagi, lagi dan lagi tergoda ku tuk kembali membacamu, merapalmu










Kau yang kucoba simpan dalam ruang terkunci
yang entah mengapa kunci itu selalu dapat ku temukan kembali
tak kuasa ku singkirkan mu, tak mampu ku menolakmu

Kau selalu ada dalam pikiran dan hatiku

Kau yang selalu ingin ku baca
katademikata

(Solo, 30 September 2013)